Rumah Teduh

Althena
4 min readMar 7, 2023

--

Hawa dingin menerpa kulit kuning langsat milik anak dara yang tengah duduk di pelantaran rumah seorang londo. Tak ada rasa takut yang ia rasa, hanya saja terselip rasa duka tiap melihat rintik hujan yang berjatuhan sedari tadi yang mengingatkan dirinya tentang Ibu dan Bang Janu.

Jelas teringat dalam ingatannya, beberapa bulan lalu, saat Bang Janu menghilang entah ke mana, berhari-hari tak pulang ke rumah, dan saat pulang hanya tersisa jasad yang diantar oleh para tentara dari orang Londo dengan keadaan bersimbah darah kering dan wajah lebam penuh sayatan. juga tentang Ibu yang tiap hari dipukul bapak karena tak memberinya uang yang cukup untuk berjudi.

“Putih” panggilan dari suara bariton itu membuyarkan lamunan sang anak dara, membuatnya sedikit terperanjat terkejut. Anak dara membalikkan badannya, menatap ke arah pintu rumah yang kini telah berdiri sorang pria dengan rambut pirang dan mata biru sedalam lautan. Sang pria melangkah mendekat menuju tempat sang anak dara duduk, lalu ikut duduk di sampingnya.

“Kau belum tidur?” Tanya sang pria pada anak dara. Anak dara menggelengkan kepalanya, “Seharusnya aku yang bertanya demikian, Manner.” Ujar anak dara yang membuat sang pria terkekeh geli.

“Ada apa, Putih? Sesuatu mengganggu pikiranmu hingga membuatmu masih terjaga hingga larut malam begini?” Tanya sang pria lagi pada sang anak dara.

“Tidak ada hal yang penting, Manner. Aku hanya teringat pada Ibu dan Bang Janu. Rasanya sesak sekali.” Keluh anak dara pada sang tuan.

Sang pria tersenyum kecut, lalu memeluk tubuh mungil itu dalam kuasanya, berusaha memberi kenyamanan bagi anak dara agar tak terus merasa sedih atas kisah sang Ibu dan Abangnya. Dalam peluk hangat itu, sang pria kembali berbicara dengan suara pelan, namun tersirat ketenangan yang ingin diberi di dalamnya.

“Putih, dengarkan aku. Pertama, jangan kau panggil aku Manner. Kau bukan budakku, kau merdeka atas hidupmu, atas tubuhmu. Atau, apa kau lupa pada namaku?” sang anak dara menggeleng, “Aku tak pernah lupa, William.” Sang pria tersenyum saat namanya disebut dalam tutur kata sang anak dara, begitu manis menurutnya ketika anak dara menyebut namanya seperti itu.

Di usapnya surai legam itu, memeluk lebih dalam tubuh mungil itu, sesekali diciumnya aroma dari rambut sang gadis yang membuatnya candu dan terus jatuh dalam harumnya. “Panggil aku seperti biasanya, Putih. Aku tak akan melukaimu. Barang kali ada orang lain yang mencoba melakukannya atau bahkan ingin merebut dirimu dariku, aku tak akan tinggal diam. Dia harus berhadapan terlebih dahulu denganku. Dan satu lagi, jika ada yang mengganggu pikiranmu, aku selalu bisa jadi tempat kau bercerita, berkeluh kesah, bercerita tentang segala luka dan suka, tentang masa lalu, dan masa depan kita. Semuanya siap aku dengarkan kapan pun itu.”

“William..”

“Hmm?”

“Terima kasih”

“Untuk?”

“Segalanya. Untuk kehangatan yang kau beri, untuk perlindungan, untuk cinta, dan.. seluruhnya yang kau berikan padaku. Terima kasih, William.”

“Tidak masalah, Putih. Terima kasih juga telah menerimaku dengan apa adanya aku, tentang latar belakangku, dan maaf untuk segala sengsara yang kau dan seluruh pribumi rasakan atas penjajahan ini.” Ujar sang pria dengan wajahnya yang mulai menjadi sendu bersatu dengan rintik hujan yang sedari tadi tak henti turun dari langit.

Jujur saja, Putih tak pernah menyesal bertemu dengan William, walau pertemuan mereka kurang mengenakkan untuk diceritakan ulang. Bahkan bagi Putih Saraswati, bertemu pria Londo bernama William Bouwer ini merupakan suatu anugerah baginya, dimana sang pria menjadi titik terang dalam hidupnya yang kelam dalam sembilan belas tahun belakangan. Bertemu dengan William itu bagaikan menemukan harta karun di dalamnya lautan tak terbatas.

“Kau ingat tentang kali kita bertemu?”

“Tentu, di bawah indahnya sinar matahari di pagi itu, di ujung pantai Wonokromo pada akhir tahun seribu sembilan ratus. Namun, ada yang lebih indah dari matahari pagi itu.”

“Aku tak seindah itu, William. Tubuhku penuh luka, luar dan dalam. Bahlan untuk sekedar membersihkannya saja aku tak bisa. Aku juga ingat, hari itu berlalu begitu saja, kita hanya saling menatap, lalu tak lama kau dihampiri oleh seorang anak buahmu. Dan hari-hari selanjutnya, setelah duka besar menyapa hidupku, hari dimana bapak menjualku pada Nyonya Nora dan dijadikan salah satu dari bagian Buka Kelambu. Dan tak lama, kau datang dan memilihku. Begitu malang hidupku, William. Juga bang Janu yang mati karena jatuh hati pada Karlena Van Ojk, juga Bapak yang tega padaku dan Ibu. Hidupku penuh duku, William. Tak ada cerita bahagia di dalamnya.”

“Berhenti di sana, jangan dilanjutkan” Tegas William.

Di tariknya pundak anak dara untuk mendekat ke arahnya, sekilas di kecupnya bibir ranum milik sang anak dara, lalu berujar, “Putih, aku selalu berpikir kapan aku bisa menambahkan margaku pada namamu, kapan aku bisa membawamu ke negeriku untuk aku jadikan ratu dalam kuasaku di sana. Putih, kau harus tau, kau adalah rumahku, tempatku berkeluh kesah dan menghabiskan waktu setelah seharian lelah mengurus penjualan cengkeh di perkebunan milik kita. Kau adalah rumah, Putih. Sebab adanya engkau dalam hidupku membawa begitu banyak rasa bahagia, cinta, dan kasih sayang. Lalu, tak hanya aku yang merasa demikian, kau juga bisa merasakannya. Anggap aku rumahmu, tempat kau menumpakhan segala yang kau rasakan. Anggap aku rumah teduhmu, Putih.”

--

--

Althena
Althena

Written by Althena

0 Followers

pretty butterfly in the sky, showing the wonderful world in the book.

No responses yet